
evakuasi pendaki asal Brasil, Juliana Marins, yang meninggal dunia setelah terjatuh di jurang Gunung Rinjani, menuai kritik pedas dari sejumlah warganet Brasil.
Mereka menuding tim SAR Indonesia lamban dan tidak profesional dalam menjalankan misi penyelamatan.
Namun, pernyataan ini langsung dibantah oleh salah satu relawan lapangan, Agam Rinjani, yang turut serta dalam evakuasi jenazah Juliana.
“Tujuan saya itu apa yang penting saya bisa bermanfaat buat evakuasi. Karena lihat netizen di medsos itu ngeri-ngeri,” ujar Agam pada Sabtu (28/6/2025).
Ia menyayangkan komentar-komentar yang merendahkan kinerja tim SAR tanpa memahami medan ekstrem di lapangan.
“Penghinaan semua terhadap negara. Makanya, ini bangkit jiwa nasionalismeku. Masa negara diinjak-injak gara-gara orang jatuh,” lanjutnya.
Apa Tantangan Terbesar dalam Evakuasi Juliana Marins?

Menurut Agam, proses penyelamatan jenazah Juliana merupakan salah satu yang tersulit sepanjang karier relawan.
Medan curam, longsoran batu, hingga cuaca ekstrem membuat jalannya evakuasi sangat berisiko.
Kabut tebal juga menghambat visibilitas, sehingga helikopter yang sempat dikerahkan tak bisa menembus lokasi korban.
“Kami tidur, batu di mana-mana jatuh. Kalau tidak tahu, apalagi kalau hujan malam, ya selesai kita, pasti diserang hipotermia,” terang Agam.
Tim relawan bahkan harus bermalam tergantung di sisi tebing, mengandalkan tali pengaman dan anchor yang ditanamkan langsung di batu.
Evakuasi jenazah dilakukan secara manual selama 12 jam, dengan risiko longsoran batu yang terus mengancam.
Bagaimana Respons Tim Evakuasi terhadap Kritik Warganet?
Alih-alih patah semangat, hujatan warganet justru memantik semangat nasionalisme para relawan.
“Kami bangkitkan jiwa nasionalisme, semangat teman-teman yang ada di lapangan. Tujuannya cuma satu: merdeka!” kata Agam.
Leave a Reply